Mengawali tulisan ini, mengutip dari buku Ivan Illich yang berjudul Deschooling Society yang dianggap bid’ah bagi system pendidikan formal mengatakan bahwa semakin banyak pengajaran, semakin baik hasilnya atau menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan. Kritik dari Ivan Illich ini mengandung penjelasan bahwa memahami substansi pendidikan tentunya tidak hanyaberpikir pengajaran dengan belajar, ijazah dengan kemampuan mengingat dalam pendidikan di Indonesia sekolah lebih banyak mencampuradukkan antara proses dengan substansi pendidikan itu sendiri.
Kalau berbicara tentang pendidikan yang memerdekakan tentunya jika melihat historis pendidikan di Indonesia tentunya akan bertemu pada bagaimana pemikiran modern K.H. Ahmad Dahlan maupun Ki Hajar Dewantara yang di era modern saat ini menjadi salah satu acuan bagaimana proses pendidikan di Indonesia di jalankan. Seperti dalam Konsep Ahmad Dahlan bahwa konsep pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan berupa pembentukan keperibadian serta menjadi manusia unggul. Pendidik bagi Ahmad Dahlan harus bisa memberi contoh kepada peserta didik. Peserta didik harus mempunyai ilmu yang dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari serta memiliki kemampuan, hal ini bisa di sederhanakan tidak hanya bagaimana peserta didik diberikan pengetahuan secara kognitif tetapi afektif dan psikomotorik menjadi sebuah satu kesatuan.
Pendidikan seharusnya menuntun hidup tumbuhnya anak-anak kita terletak di luar kecakapan atau kehendak kita sebagai guru atau orang tua. Mereka akan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti petani yang menamam padi. Petani tersebut tidak bisa mengubah kodrat padi menjadi jagung. Bertanam jagung pun jangan berharap akan menjadi padi. Cara bertanam padi pun berbeda dengan cara menanam jagung, begitu sebaliknya.
Yang bisa dilakukan petani adalah menuntun jalan tumbuhnya padi dengan menggemburkan tanah terlebih dahulu, menyemai, memupuk, menghindarkan padi dari berbagai penyakit sehingga padi tersebut tumbuh dewasa/menguning. Itulah pendidikan, bukan mengubah kodrat anak-anak tetapi menuntun agar anak tersebut tumbuh dengan baik. Dan memang anak-anak tersebut harus dijaga agar tumbuh dengan subur, memiliki budi pekerti dan tetap sesuai kodratnya.
Di Indonesia masyarakat beranggapan bahwa ijazah masih sebagai sebuah prestise bukan memacu motivasi untuk selalu menggali ilmu pengetahuan secara terus-menerus. Bagi saya pendidikan pada akhirnya akan kehilangan sebuah kalimat “pendidikan sebagai proses bukan hasil”. Pemikiran-pemikiran yang lebih substantive pada hasil tentunya bukan menjadi sebuah acuan apakah pendidikan itu berjalan atau berhasil tetapi bagaimana pelaku pendidikan berpikir bahwa pendidikan harus didesain sebaik mungkin dengan melihat pada proses yang berjalan. Inilah sistem pendidikan mekanis yang diselenggarakan atas dasar standarisasi-regulasi-otorisasi industrial. Pendidikan yang diorientasikan hanya untuk kepentingan pabrik dan industri semata. Kemanfaatan dan keberhasilan pendidikan masih diukur dengan kacamata industri kerja. Padahal, jika mengambil istilah Ali Syariati pendidikan merupakan alat pembebasan dari penindasan.
Problematika pendidikan di tengah intaian pandemic covid-19 perlu menekankan pada aspek pembelajaran yang memerdekakan. Keluarnya kurikulum darurat yang dicanangkan Kementerian Pendidikan RI seharusnya tidak dipahami karena tuntutan situasi dan kondisi ditengah pandemic, tetapi bagaimana keniscayaan yang membutuhkan refleksi-aksi bahwa pendidikan yang membebaskan memerlukan kemerdekaan baik dalam proses pendidikan yang dijalankan maupun hasil akhir sebuah pembelajaran. Meminjam perkataan Ki Hajar Dewantara bahwa esensi sebuah pendidikan merupakan daya upaya untuk memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia, ini merupakan filosofis humanismenya. Tentunya jika disederhanakan peserta didik tidak hanya menghafal saja tetapi termanifestasikan dalam sikap, sifat maupun perilaku.
Selama ini pendidikan mengalami reduksi makna fungsionalnya dan hanya menjadi sekadar metode proses belajar mengajar dalam konteks persekolahan. Peserta didik masih terkungkung oleh aturan kurikulum. Itu tidak lepas dari arogansi lembaga pendidikan yang gemar membangun rel untuk dilewati sendiri, ringkasnya pendidikan yang sentralistik. Dengan demikian, model pendidikan kita masih mendahulukan aturan mekanis ketimbang pendidikan fungsional organis.
Oleh karena itu, konsep merdeka belajar yang selama ini digembar-gemborkan harus dimaknai sebagai proposal gagasan yang harus harus siap diuji dan direvisi. Itulah watak intelektual organis. Akan tetapi, jika konsep merdeka belajar hanya sekadar jualan slogan, maaf, itu watak pengusaha yang oportunis. Pendidikan memerdekakan perlu dilaksanakan pada pemikiran antara proses dan hasil harus adil. Pelaksana dalam hal ini lembaga-lembaga pendidikan harus berpikir bagaimana peserta didik diajarkan tidak hanya secara pengetahuan menjadi tolak ukur tetapi bagaimana internalisasi sebuah proses pendidikan menjadi dasar sifat, sikap dan perilaku peserta didik dalam menjalani atau menghadapi kehidupan. Tentunya kita sebagai guru/pendidik harus selalu optimis bahwa pendidikan sesuai amanat UUD 1945 menjadi terwujud dan berhasil.
